Surau.co - Sejak dimulainya dakwah Islam selama lebih kurang 20 tahun sejak wahyu pertama turun, terdapat sekelompok sahabat yang mampu menghafal dengan kemampuan biasa. Ada yang mampu menghafal semua yang tertulis. Ada pula yang menghafal semua ayat yang tersusun. Di antara mereka adalah Ali bin Abu Thalib, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, dan Zaid bin Tsabit.
Setelah Alquran diturunkan secara sempurna, Rasulullah SAW membacakannya kepada para sahabat dengan berurutan sebagaimana susunan surat dan ayat yang kita ketahui sekarang.
Zaid bin Tsabit pernah menyetorkan hafalannya kepada Rasulullah SAW pada tahun wafat beliau. Di tahun itu, Zaid menyetorkan hafalannya sebanyak dua kali. Dan qiro-at tersebut dinamakan qiro-at Zaid bin Tsabit. Karena dia pula yang menulis dan mengajukannya kepada Rasulullah SAW agar dikoreksi. Dan teks tersebut , dibacakan oleh Rasulullah SAW kepada orang-orang hingga beliau wafat.
Setelah Rasulullah wafat, kaum muslimin dibuat sibuk dengan konflik melawan orang-orang murtad. Sehingga banyak korban jatuh dari kaum muslimin. Dalam Perang Yamamah (perang menghadapi nabi palsu) Musailimah al-Kadzab misalnya, sejumlah besar penghafal Alquran gugur. Umar bin al-Khattab khawatir para penghafal Alquran terus berguguran karena konflik belum juga usai. Ia mendiskusikan ide membukukan Alquran dengan Khalifah Abu Bakar. Kemudian Abu Bakar beristikharah dan bermusyawarah dengan para sahabat.
Setelah itu, ia memanggil Zaid bin Tsabit, “Sesungguhnya engkau adalah seorang pemuda yang cerdas. Aku akan memberimu tugas penting…” Abu Bakar memerintahkanya membukukan Alquran.
Zaid pun memegang tanggung jawab besar. Ia diuji dengan amanah yang berat dalam proyek besar ini. Ia mengecek dan menelaah hingga terkumpullah Alquran tersusun dan terbagi-bagi berdasarkan surat masing-masing. Tentang tanggung jawab besar ini, Zaid berkata, “Demi Allah! Kalau sekiranya kalian bebankan aku untuk memindahkan bukit dari tempatnya, tentu hal itu lebih ringan daripada kalian perintahkan aku untuk membukukan Alquran.”
Ia juga mengatakan, “Aku meneliti Alquran, mengumpulkannya dari daun-daun lontar dan hafalan-hafalan orang.”
Namun dengan taufik dari Allah ia berhasil menjalankan amanah besar tersebut dengan baik.
Pada masa pemerintah Khalifah Utsman bin Affan, jumlah orang yang memeluk Islam semakin hari semakin bertambah. Hal itu terjadi di berbagai daerah. Tentu saja hal ini sangat positif. Namun, hal ini bukanlah tanpa celah. Daerah-daerah tersebut menerima riwayat qira-at yang berbeda-beda. Dan mereka belum mengenal variasinya. Sehingga mereka menyangka orang yang berbeda bacaan Alqurannya membuat-buat bacaan baru. Muncullah masalah baru.
Melalui usul sahabat Hudzaifah bin al-Yaman, Khalifah Utsman bin Affan pun membuat kebijakan menyeragamkan bacaan Alquran. Utsman mengatakan, “Siapakah orang yang paling dipercaya untuk menulis?”
Orang-orang menjawab, “Penulisnya Rasulullah, Zaid bin Tsabit.”
Utsman kembali mengatakan, “Siapakah yang paling fasih bahasa Arabnya?”
Orang-orang menjawab, “Said bin al-Ash. Ia seorang yang dialeknya paling mirip dengan Rasulullah.”
Utsman kembali mengatakan, “Said yang mendikte dan Zaid yang menulis.”
Zaid bin Tsabit meminta bantuan sahabat-sahabat yang lain. Para sahabat pun membawakan salinan Alquran yang ada di rumah Ummul Mukminin Hafshah binti Umar. Para sahabat saling membantu dalam peristiwa besar dan bersejarah ini. Mereka jadikan hafalan Zaid sebagai tolok ukur.
Ibnu Abbas mengatakan, “Pastilah para penghafal Alquran dari sahabat Muhammad tahu bahwa Zaid bin Tsabit adalah orang yang sangat mendalam ilmunya.”
Baca juga: Zaid bin Tabit, Penerjemah Rasulullah
http://dlvr.it/SFk4hN