Surau.co - Manusia bagai barang tambang. Mereka yang terbaik pada masa jahiliyah, terbaik juga pada masa Islam. Milikilah dua karakter yang telah diterapkan oleh seorang sahabat pada masa jahiliyah, kemudian tonjolkan pula pada masa Islam.
Sahabat tersebut pada masa jahiliyah dipanggil Zaid Al-Khail dan pada masa Islam dipanggil oleh Rasulullah SAW sebagai Zaid Al-Khair.
Bertaruh dengan Pencuri Unta
Suatu kali pada masa Jahiliyah, Zaid Al-Khail menggembalakan unta-unta milik saudara perempuannya. Jumlahnya kira-kira seratus ekor. Menjelang maghrib, Zaid yang dibantu dua orang sahayanya menambatkan unta-untanya dekat sebuah tenda yang terbuat dari kulit. Di dalam tenda, tinggal seorang tua bernama Muhalhil, ayah Zaid Al-Khail.
Zaid maupun kedua pembantunya tak menyadari kehadiran seorang tamu tak diundang yang sejak tadi mengintai dari balik semak. Malam kian larut, dingin, dan pekat. Zaid Al-Khail dan kedua pembantunya tertidur kelelahan setelah seharian menggembalakan unta. Begitu pun dengan ayah Zaid, Muhalhil.
Dalam kegelapan malam, sesosok bayangan berkelebat mendekati tempat unta jantan ditambat. Ia lepaskan ikatan tali unta itu, dan menungganginya meninggalkan tenda. Unta-unta lainnya mengikuti unta jantan itu.
Zaid baru menyadari unta-untanya hilang ketika bangun tidur di pagi hari. Tanpa pikir panjang, ia raih tali kekang kuda dan memacunya mengejar si pencuri. Menjelang tengah hari, Zaid baru menemukan jejak si pencuri. Ia pun makin mempercepat memacu kudanya. Akhirnya Zaid Al-Khail berhasil menemukan si pencuri.
Merasa dirinya terkejar, si pencuri segera turun dari unta jantan yang ditungganginya dan menambatkannya pada sebatang pohon kering. Si pencuri mengeluarkan anak panah dan membidikkan pada Zaid Al-Khail.
“Lepaskan unta jantan itu!” perintah Zaid dari atas punggung kudanya.
“Tidak!” jawab si pencuri.
“Aku meninggalkan keluargaku di Hirah (Irak) dalam kondisi kelaparan. Aku telah bersumpah tidak akan kembali kepada mereka sebelum berhasil membawakan mereka makanan atau aku mati karenanya.”
“Lepaskan unta jantan itu!” bentak Zaid mengulangi perintahnya. ”Jika tidak kamu lepaskan, kubunuh kamu.”
“Tidak! Aku tidak akan melepaskan unta itu, apa pun yang terjadi!” tantang si pencuri sambil tetap membidikkan anak panahnya ke arah Zaid Al-Khail.
Zaid Al-Khail berkata, ”Kalau begitu, rentangkan tali unta jantan itu. Di situ terdapat tiga simpul. Tunjukkan padaku simpul mana yang harus kupanah.”
Akhirnya pencurinya pun membolehkan Zaid memanah tiga simpul yang ada di tali unta. Ternyata Zaid berhasil memanah tiga simpul itu. Pencurinya pun akhirnya menyerah, lalu sang pencuri dibawa Zaid ke tendanya.
Dia berkata “Seandainya itu unta-untaku akan kuberikan semua untukmu, tapi tenang saja, tiga hari lagi akan ada peperangan, jika kaum kami menang dan dapat harta rampasan, akan kuberikan padamu”.
Pencuri itu pun sadar kalau yang sedang berbicara adalah Zaid Al-Khalil, si penawan yang baik. Nah, kan Zaid berjanji kalau tiga hari lagi ada peperangan dan ternyata Zaid benar.
Lalu Zaid mendapatkan harta rampasan, yaitu 100 ekor unta dan semuanya diberikan ke pencuri itu.
Kesaksian Zaid atas Allah dan Kerasulan Muhammad
Cerita tentang kenabian Muhammad dengan agama yang dibawanya sampai ke telinga Zaid Al-Khail.
Satu delegasi besar yang terdiri dari para pemimpin kaum Thayi’, kaum dari Zaid Al-Khail, berangkat ke Yatsrib (Madinah) hendak menemui Rasulullah SAW. Mereka langsung menuju Masjid Nabawi, tempat Rasulullah SAW mengajarkan Islam.
Melihat kedatangan mereka, Rasulullah SAW menyampaikan pidatonya kepada kaum muslimin yang berada di masjid,
“Aku lebih baik bagi tuan-tuan daripada berhala Uzza dan sejumlah berhala yang tuan-tuan sembah. Aku lebih baik bagi tua-tuan daripada unta hitam dan daripada segala yang tuan-tuan sembah selain Allah.”
Setelah Rasulullah SAW selesai berpidato, Zaid Al-Khail berdiri di antara jamaah kaum muslimin, dan berkata, “Ya Muhammad, aku bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah, dan sesungguhnya engkau adalah Rasulullah.”
Rasulullah Saw menoleh ke arahnya, dan bertanya, “Siapa engkau?”
“Saya Zaid Al-Khail bin Muhalhil,” jawabnya.
Rasulullah SAW bersabda, “Engkau Zaid Al-Khair, bukan Zaid Al-Khail.”
Zaid Al-Khalil yang telah berganti nama, “Baiklah saya setuju”
Rasulullah SAW pun bersabda, “Segala puji bagi Allah yang membawa engkau ke sini dari kampungmu, dan melunakkan hatimu menerima Islam.”
Sejak itu, Zaid Al-Khail dikenal dengan Zaid Al-Khair. Rasulullah SAW membawanya ke rumah beliau didampingi Umar bin Khathab dan beberapa sahabat lainnya. Mereka membentuk majelis halaqah.
Pada kesempatan itu, Nabi SAW bersabda, “Belum pernah aku mengenal orang yang memiliki karakter seperti engkau, wahai Zaid. Dalam diri engkau terdapat dua sifat yang disukai Allah dan Rasul-Nya.”
"Apa itu, ya Rasulullah?” tanya Zaid.
Rasulullah SAW menjawab, “Sabar dan santun.”
“Segala puji bagi Allah yang telah menjadikanku memiliki sifat-sifat yang disukai Allah dan Rasul-Nya,” ujar Zaid.
Zaid berkata kepada Rasulullah SAW, “Berilah saya tiga ratus penunggang kuda yang cekatan. Saya berjanji akan menyerang negeri Romawi dan mengambil negeri itu dari tangan mereka.”
Rasulullah SAW mengagumi cita-cita Zaid itu. Rasulullah SAW berkata, “Alangkah besarnya cita-citamu, hai Zaid. Belum ada orang seperti engkau.”
Sebelum memenuhi cita-citanya itu, Allah SWT berkehendak lain terhadap Zaid Al-Khair. Selama berada di Madinah, Zaid terkena wabah demam. Tubuhnya panas tinggi. Tak lama kemudian ia menghembuskan nafasnya yang terakhir, menghadap Sang Khaliq.
Sedikit sekali waktu yang terluang baginya setelah ia masuk Islam, sehingga tidak ada peluang baginya untuk berbuat dosa. Zaid wafat tak lama setelah menyatakan keislamannya di hadapan Rasulullah SAW.
Baca juga: Zaid bin Arqam, Sahabat Rasulullah yang Dituduh Memfitnah
http://dlvr.it/SFcq1S