Ubadah bin Shamit, Pemimpin Muslim yang Memilih Hidup Zuhud

Surau.co - “Sekiranya orang-orang Anshar menuruni lembah atau celah bukit, pasti aku akan mendatangi lembah dan celah bukit orang-orang Anshar. Dan kalau bukanlah karena hijrah, tentulah aku akan menjadi salah seorang warga Anshar!”Tsumamah bin Utsal, Raja Yamamah yang Memeluk Islam Demikian ungkapan Rasulullah SAW terhadap orang Anshar. Mereka adalah para sahabat yang berada di Madinah dan menolong kaum muslimin (muhajirin) yang hijrah ke tempat mereka. Karena itulah mereka dipanggil dengan Anshar yang berarti penolong. Di antara mereka ini adalah Ubadah bin Shamit. Di samping seorang warga kaum Anshar, ia merupakan salah seorang pemimpin mereka yang dipilih Rasulullah SAW sebagai utusan yang mewakili keluarga dan kaum kerabat mereka. Ubadah bin Shamit yang mulanya hanya menjadi wakil kaum keluarganya dari suku Khazraj, sekarang meningkat menjadi salah seorang pelopor Islam, dan salah seorang pemimpin kaum muslimin. Komitmen Awal Ubadah Menjalani Zuhud Pada suatu hari Rasulullah SAW, menjelaskan tanggung jawab seorang amir atau wali. Didengarnya Rasulullah menyatakan nasib yang akan menimpa orang-orang yang melalaikan kewajiban di antara mereka atau memperkaya dirinya dengan harta, tubuh Ubadah gemetar dan hatinya berguncang mendengar itu. Ia bersumpah kepada Allah SWT tidak akan menjadi pemimpin walau atas dua orang sekalipun. Dan sumpahnya ini dipenuhi sebaik-baiknya dan tak pernah dilanggarnya. Ubadah termasuk utusan Anshar yang pertama datang ke Makkah untuk mengangkat baiat kepada Rasulullah SAW dan masuk Islam, yakni baiat yang terkenal sebagai Baiatul Aqabah pertama. Ia termasuk salah seorang dari 12 orang beriman yang segera menyatakan keislaman dan mengangkat baiat, serta menjabat tangan Rasulullah SAW menyatakan sokongan dan kesetiaan kepada Rasulullah SAW. Dan ketika datang musim haji tahun berikutnya, yakni saat terjadinya Baiatul Aqabah kedua yang diikuti 70 orang beriman, Ubadah menjadi utusan dan wakil orang-orang Anshar. Kemudian, ketika peristiwa penting berturut- turut silih berganti, saat-saat perjuangan, dan pengorbanan susul-menyusul tiada henti, Ubadah tak pernah tertinggal dalam setiap peristiwa tersebut. Semenjak ia menyatakan bahwa Allah SWT dan Rasul-Nya sebagai pilihan atas agamanya, maka dipikulnya segala tanggung jawab akibat pilihannya itu dengan sebaik- baiknya. Segala cinta kasih dan ketaatannya hanya tertumpah kepada Allah SWT, dan segala hubungan baik dengan kaum kerabat, dengan sekutu-sekutu maupun dengan musuh-musuhnya hanya sesuai dan menuruti pola yang dibentuk oleh keimanan dan norma-norma yang dikehendaki oleh keimanan ini. Semenjak dulu, keluarga Ubadah telah terikat dalam suatu perjanjian dengan orang-orang Yahudi Bani Qainuqa’ di Madinah. Ketika Rasulullah SAW bersama para sahabatnya hijrah ke kota ini, orang-orang Yahudi memperlihatkan sikap damai dan persahabatan terhadapnya. Tetapi pada hari-hari antara Perang Badar yang mendahului Perang Uhud, orang-orang Yahudi di Madinah mulai menampakkan belangnya. Salah satu kabilah mereka, yaitu Bani Qainuqa’ membuat ulah untuk menimbulkan fitnah dan keributan di kalangan kaum muslimin. Melihat hal ini, Ubadah secepatnya melakukan tindakan yang setimpal dengan jalan membatalkan perjanjian dengan mereka. Ia berkata, “Saya hanya akan mengikuti pimpinan Allah SWT, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman!” Tidak lama kemudian turunlah ayat Alquran memuji sikap dan kesetiaannya ini melalui firman-Nya, “Dan barangsiapa yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang beriman sebagai pemimpin, maka sungguh, partai atau golongan Allahlah yang beroleh kemenangan.” (QS. Al-Maidah: 56). Demikianlah, Ubadah bukan hanya menjadi juru bicara tokoh-tokoh Anshar di Madinah semata, tetapi tampil sebagai seorang juru bicara para tokoh Agama yang akan meliputi seluruh pelosok dunia. Namanya tak ubahnya sebagai bendera yang berkibar di sebagian besar penjuru bumi. Tidak Mudah Tergiur dengan Kemewahan Duniawi Ubadah menjadi sosok yang menjauhkan dirinya dari usaha-usaha duniawi, seperti harta, kemewahan serta kekuasaan yang di­khawatirkan akan merusak agama Allah SWT. Di masa pemerintahan Amirul Mukminin Umar bin Khathab, tokoh yang bergelar Al-Faruq ini pun tidak berhasil mendorongnya untuk menerima suatu jabatan, kecuali dalam mengajar Umar dan memperdalam pengetahuan mereka dalam soal agama. Memang, inilah satu-satunya usaha yang lebih diutamakan Ubadah dari lainnya, menjauhkan dirinya dari usaha-usaha lain yang ada sangkut-pautnya dengan harta benda dan kemewahan serta kekuasaan. Oleh sebab itu, ia berangkat ke Suriah dan merupakan salah seorang dari tiga sekawan, bersama Mu’adz bin Jabal dan Abu Darda, menyebarkan ilmu, pengertian dan cahaya bimbingan di negeri itu. Ubadah juga pernah berada di Palestina untuk beberapa waktu dalam melaksanakan tugas sucinya, sedang yang menjalankan pemerintahan ketika itu adalah Muawiyah. Ubadah termasuk rombongan perintis yang telah dididik oleh Rasulullah SAW dengan tangannya sendiri, yang telah beroleh limpahan mental, cahaya dan kebesarannya. Ia menjalani sebagian besar dari hari-hari terbaiknya, saat terpenting dan paling berkesan bersama Rasulullah SAW. Rombongan pelopor yang bergelimang dalam kancah perjuangan dan ditempa oleh pengurbanan. Ia menganut Islam karena kemauan pribadi dan bukan karena menjaga ke­selamatan diri, pendeknya yang telah menjual harta benda dan dirinya kepada Ilahi Rabbi. Dan seandainya di kalangan orang-orang yang masih hidup, ada yang dapat ditonjolkan untuk percontohan luhur sebagai kepala pemerintahan yang dikagumi oleh Ubadah dan dipercayainya, maka orang itu tidak lain tokoh terkemuka yang sedang berkuasa di Madinah; Umar bin Khathab. Sekiranya Ubadah melanjutkan renungannya dan membanding-bnadingkan tindak-tanduk Muawiyah dengan apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar, jurang pemisah di antara keduanya menganga lebar, dan sebagai akibatnya akan terjadilah bentrokan dan memang telah terjadi. Berkata Ubadah bin Shamit , “Kami telah baiat kepada Rasulullah SAW, tidak takut akan ancaman siapa pun dalam menaati Allah!” Ubadah adalah seorang yang paling teguh memenuhi baiat. Dan jika demikian, maka ia tidak akan takut pada Muawiyah dengan segala kekuasaannya, dan ia akan tegak mengawasi segala kesalahan Muawiyah. Tahun 34 Hijriah, Ubadah wafat di Ramla di bumi Palestina; wakil ulung di antara wakil-wakil Anshar khususnya dan Agama Islam pada umumnya, dengan meninggalkan teladan yang tinggi dalam arena kehidupan. Baca juga: Tsumamah bin Utsal, Raja Yamamah yang Memeluk Islam
http://dlvr.it/SCvNdW
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Mohon Jangan Spam Disini. Semua Komentar ditinjau oleh Admin

News

iklan banner